Tidak
ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang tidak bisa mendidik
Tidak
ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala sekolah yang tidak bisa
membuat guru bisa mendidik
(Prof.
Ibrahim Bafadal)
Kalimat
di atas disitir oleh Prof. DR. Ibrahim Bafadal, guru besar Univesitas Negeri
Malang yang juga ketua tim perumus Permen Diknas tentang Pengadaan Kepala
Sekolah, untuk menggambarkan posisi strategis kepala sekolah dalam peningkatan
mutu pendidikan di sekolah, dalam seminar dan uji publik peraturan tersebut di
Jakarta Agustus 2007 lalu . Memang peningkatan mutu pendidikan tidak terjadi di
kantor Dinas Pendidikan atau ruang kepala sekolah, tapi di dalam kelas dengan
guru sebagai ujung tombaknya. Namun untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan iklim
sekolah yang kondusif, motivasi kerja dan komitmen guru yang tinggi, yang harus
diciptakan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dan manajer untuk meningkatkan
kinerja guru. Sementara Lipham James dalam Wahyusumidjo (2005) menggambarkan
posisi kepala sekolah sebagai yang menentukan titik pusat dan irama sekolah,
bahkan keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. Kepala Sekolah
berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan
sekolah.
Di
negara-negara maju masalah kepala sekolah ditangani oleh lembaga tersendiri
yang khusus melatih kemampuan kepala sekolah dan mempersiapkan calon kepala
sekolah. Di Singapura ada lembaga ”Leadership School” khusus untuk melatih
kepala sekolah dan mempersiapkan calon-calon kepala sekolah. Lembaga ini sudah
go internasional. Begitu juga di Malasyia, Korea Selatan, Australia dan
negara-negara Eropa memiliki lembaga sejenis.
Kompetensi
Kepala Sekolah dan Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah
Sebagai
sebuah sistem yang kompleks sekolah terdiri dari sejumlah komponen yang saling
terkait dan terikat, diantaranya : kepala sekolah, guru, kurikulum, siswa,
bahan ajar, fasilitas, uang, orangtua dan lingkungan. Komponen kepala sekolah
merupakan komponen terpenting karena kepala sekolah merupakan salah satu input
sekolah yang memiliki tugas dan fungsi paling berpengaruh terhadap proses
berlangsungnya sekolah. Kepala sekolah merupakan sumber daya manusia jenis
manajer (SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan
menserasikan sumberdaya manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input
manajemen agar SDM-P menggunakan jasanya untuk becampur tangan dengan
sumberdaya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan baik untuk dapat menghasilkan output yang diharapkan.
(Poernomosidi Hadjisarosa : 1997).
Perubahan
paradigma pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralisasi menjadi
desentralisasi dengan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menuntut
seorang kepala sekolah tidak hanya menjadi seorang manajer yang lebih banyak
berkosentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif lainnya,
namun juga dituntut menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan visi dan
mengilhami staf serta semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. MBS
menuntut seorang kepala sekolah menjadi seorang manajer sekaligus pemimpin atau
meminjam istilah Gardner (1986) sebagai ”manajer pemimpin”. Konsekuensi dari
perubahan paradigma tersebut seorang kepala sekolah dituntut untuk memiliki
karakteristik dan kompetensi yang mendukung tugas dan fungsinya dalam
menjalankan proses persekolahan.
Slamet
PH (2002) menyebutkan kompetensi yang wajib dimiliki seorang kepala sekolah
untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sebagai berikut :
kepala sekolah harus memiliki wawasan ke depan (visi) dan tahu tindakan apa
yang harus dilakukan (misi) serta paham benar cara yang akan ditempuh
(strategi), memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menserasikan seluruh
sumberdaya terbatas yang ada untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang umumnya
tidak terbatas, memiliki kemampuan pengambilan keputusan dengan terampil,
memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan
mampu menggugah bawahannya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya.
Disamping itu kemampuan untuk membangun partisipasi dari kelompok-kelompok
kepentingan sekolah (guru, siswa, orangtua siswa, ahli, dsb.) sehingga setiap
keputusan yang diambil merupakan keputusan partisipatif.
Sementara
Permen Diknas no. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah mensyaratkan
untuk menjadi kepala sekolah profesional harus kompeten dalam menyusun
perencanaan pengembangan sekolah secara sistemik; kompeten dalam
mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga secara terpadu dapat membentuk
sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; kompeten dalam mengerahkan
seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi
pencapaian tujuan institusional sekolah, kompeten dalam pembinaan kemampuan
profesional guru sehingga mereka semakin terampil dalam mengelola proses
pembelajaran; dan kompeten dalam melakukan monitoring dan evaluasi sehingga
tidak satu komponen sistem sekolah pun tidak berfungsi secara optimal, sebab
begitu ada satu saja diantara seluruh komponen sistem sekolah yang tidak
berfungsi secara optimal akan mengganggu pelaksanaan fungsi komponen-komponen
lainnya. Kompleksitas sekolah sebagai satuan sistem pendidikan menuntut adanya
seorang kepala sekolah yang memiliki kompetensi kepribadian, manajerial,
kewirausahaan, sipervisi dan sosial.
Kepala
sekolah yang memiliki kompetensi tinggi mutlak dibutuhkan untuk membangun
sekolah berkualitas, sekolah efektif, karena kepala sekolah sebagai pemegang
otoritas dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah perlu memahami proses
pendidikan di sekolah serta menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga proses
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan sesuai dan sejalan dengan
upaya-upaya pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Maju
mundurnya suatu sekolah tidak terlepas dari peran Kepala Sekolah, karena
“Kepala Sekolah berperan sebagai kekuatan sentral yang menjadi kekuatan
penggerak kehidupan sekolah”. Untuk mewujudkan sekolah efektif dibutuhkan
kepala Sekolah yang tidak hanya sebagai figur personifikasi sekolah, tapi juga
paham tentang tujuan pendidikan, punya visi masa depan serta mampu
mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada menjadi suatu kekuatan yang
bersinergi guna mencapai tujuan pendidikan.
Untuk
membangun sekolah efektif menurut N. Hatton dan D. Smith (1992) dalam
tulisannya Perspective on Effective school perlu kepemimpinan instruksional
yang kuat, perhatian yang jelas pada hasil belajar, penghargaan murid yang
tinggi, lingkungan yang baik serta pengawasan tingkat prestasi, semua ini akan
terwujud apabila seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah
berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Dibutuhkan iklim sekolah
yang baik untuk menjadikan sekolah sebagai sekolah efektif. Menurut Paula F.
Silver (1983) iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku
Kepala Sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok. Perilaku Kepala
Sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian
dinamika kepemimpinan Kepala Sekolah dengan kelompok (guru dan staf) dipandang
sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah.
Interaksi
antara perilaku guru dan perilaku kepala sekolah akan menentukan iklim sekolah
yang bagaimana yang akan terwujud, iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi
kegiatan pendidikan akan menghasilkan interaksi edukatif yang efektif,
meningkatkan motivasi kerja guru dan staf yang pada akhirnya meningkatkan
kinerja guru dan staf, sehingga upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah akan
berjalan dengan baik, dan keadaan sebaliknya akan terjadi jika iklim sekolah
tidak kondusif. Robert Stinger (2002) menyebutkan perilaku pemimpin
mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi kerja karyawan.
Motivasi merupakan pendorong utama terjadinya peningkatan kinerja.
Pengadaan
Kepala Sekolah
C.E
Beeby (1981) dalam bukunya “Pendidikan di Indonesia” menguraikan tentang masih
rendahnya kemampuan Kepala Sekolah baik di Sekolah Dasar maupun di Sekolah
Lanjutan, meski diakui Kepala Sekolah Lanjutan lebih tinggi kualitasnya karena
umumnya berkualifikasi Sarjana, namun tetap saja Kinerja/Kepemimpinan Kepala
Sekolah masih dianggap gagal dimana “sebab utama dari kegagalan dalam
kepemimpinan para Kepala Sekolah ini terletak pada organisasi intern Sekolah
lanjutan itu sendiri”. Sementara Sherry Keith dan Robert H. Girling (1991)
mengutip laporan Coleman Report menyebutkan bahwa dalam penelitian efektifitas
sekolah 32% prestasi siswa dipengaruhi kualitas manajemen sekolah. Ini berarti
bahwa kinerja kepala sekolah dalam manajemen pendidikan akan juga berdampak
pada prestasi siswa yang terlibat di dalam sekolah tersebut.
Untuk
melahirkan seorang kepala sekolah yang profesional dibutuhkan sistem yang
kondusif, baik rekrutmen maupun pembinaan. Dari proses rekrutmen yang sarat KKN
mustahil dilahirkan seorang kepala sekolah yang profesional. Dibutuhkan sistem
rekrutmen yang berfokus pada kualitas dan pembinaan yang berorientasi pada
kinerja dan prestasi dengan ”reward & punishment” yang tegas dan konsekuen
untuk melahirkan seorang kepala sekolah yang tangguh.
Pengadaan
kepala sekolah merupakan proses mendapatkan calon kepala sekolah yang paling
memenuhi kualifikasi dalam rangka mengisi formasi kepala sekolah dalam satuan
pendidikan tertentu. Rangkaian kegiatan pengadaan kepala sekolah terdiri dari :
penetapan formasi, rekrutmen calon, seleksi calon dan pengangkatan calon yang
paling memenuhi kualifikasi. Tahap rekrutmen dan seleksi merupakan tahap yang
paling krusial, yang jika terjadi salah langkah pada tahap ini bisa berakibat
fatal bagi sekolah yang mendapat kepala sekolah yang kurang kompeten. Tidak
sedikit sekolah yang sebenarnya memiliki potensi besar karena siswa yang masuk
merupakan siswa berprestasi tapi tidak berkembang, stagnan, bahkan mengalami kemunduran
akibat kepala sekolah yang tidak kompeten.
Untuk
melahirkan kepala sekolah yang profesional, Depdiknas sedang menggodok
Peraturan Menteri Tentang Pedoman Dan Panduan Pelaksanaan Pengadaan Kepala
Sekolah, untuk dijadikan pegangan bagi daerah dalam pengadaan kepala sekolah.
Beberapa prinsip rekrutmen yang penting dalam pengadaan kepala sekolah menurut
depdiknas adalah :
1.
Rekrutmen calon kepala sekolah dilakukan secara rutin pada awal tahun
berdasarkan hasil analisis dan penetapan formasi jabatan kepala sekolah
2. Rekrutmen calon kepala sekolah dilakukan secara proaktif dalam rangka mendapatkan guru yang paling menjanjikan untuk menjadi kepala sekolah. Rekrutmen calon kepala sekolah hendaknya dilakukan melalui proses pencarian secara aktif kepada semua guru yang dipandang memiliki kualifikasi dan kompetensi kepala sekolah, sehingga guru-guru yang memiliki kualifikasi dak kompetensi yang paling menjanjikan banyak melamar dan mengikuti seleksi calon kepala sekolah.
3. Rekrutmen calon kepala sekolah dilakukan secara terbuka melalui surat kabar lokal dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada guru yang memenuhi kualifikasi. (Depdiknas : 2007)
2. Rekrutmen calon kepala sekolah dilakukan secara proaktif dalam rangka mendapatkan guru yang paling menjanjikan untuk menjadi kepala sekolah. Rekrutmen calon kepala sekolah hendaknya dilakukan melalui proses pencarian secara aktif kepada semua guru yang dipandang memiliki kualifikasi dan kompetensi kepala sekolah, sehingga guru-guru yang memiliki kualifikasi dak kompetensi yang paling menjanjikan banyak melamar dan mengikuti seleksi calon kepala sekolah.
3. Rekrutmen calon kepala sekolah dilakukan secara terbuka melalui surat kabar lokal dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada guru yang memenuhi kualifikasi. (Depdiknas : 2007)
Seleksi
merupakan tahap ketiga dalam pengadaan kepala sekolah. Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional nomor : 162/U/2003, tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai
Kepala Sekolah, pasal 5 menyebutkan tahap-tahap seleksi kepala sekolah yang
meliputi : 1)Seleksi administratit, 2)Test Tulis dan 3)Paparan makalah.
Sementara dalam rancangan Peraturan Mendiknas tentang Pedoman dan Panduan
Pengadaan Kepala Sekolah seleksi terdiri dari : seleksi administratif, seleksi
akademik, uji kompetensi dan uji akseptabilitas.
Mengingat
strategisnya peran kepala sekolah dalam peningkatan kualitas pendidikan maka
proses pengadaan kepala sekolah, baik rekrutmen mapupun seleksi menjadi salah
satu faktor terpenting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Periodisasi
Masa Jabatan Kepala Sekolah
Proses
rekrutmen kepala sekolah yang baik belum cukup untuk menghasilkan kepala
sekolah yang tangguh dan profesional jika tidak disertai pembinaan yang baik,
yaitu pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan ”reward
& punishment” yang tegas dan konsisten. Pembinaan kepala sekolah seperti
yang berlaku selama ini ’kepala sekolah berprestasi maupun tidak berprestasi
tetap aman menjadi kepala sekolah’, bahkan kepala sekolah yang sarat dengan
masalahpun tetap aman pada posisinya sampai pensiun, kecil kemungkinan lahir
kepala sekolah yang tangguh dan profesional. Dibutuhkan sistem pembinaan yang
menimbulkan motivasi berprestasi, seperti penghargaan dan promosi bagi kepala
sekolah berprestasi dan sebaliknya peninjauan kembali jabatan kepala sekolah
bagi mereka yang tidak berprestasi.
Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996, tanggal 1 Oktober 1996
tentang Penugasan Guru Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di
lingkungan Depdikbud dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional nomor : 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala
Sekolah telah mengarah pasa sistim pembinaan di atas. Ada dua aspek penting
dalam kedua Kepmen tersebut yaitu : Kepala Sekolah adalah guru yang mendapat
tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan masa jabatan Kepala Sekolah selama 4
(empat) tahun serta dapat diperpanjang kembali selama satu masa tugas
berikutnya bagi kepala sekolah yang berprestasi sangat baik. Status Kepala
Sekolah adalah guru dan tetap harus menjalankan tugas-tugas guru, mengajar
dalam kelas minimal 6 jam dalam satu minggu di samping menjalankan tugas
sebagai seorang manajer sekolah. Begitu juga ketika masa tugas tambahan
berakhir maka statusnya kembali menjadi guru murni dan kembali mengajar di
sekolah.
Pada
tataran praktis implementasi kedua Kepmen tersebut tidak berjalan mulus. Banyak
daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmen 0296/U/1996 yang berlaku saat
pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terpusat disiasati dengan memutihkan
masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi. Kepala Sekolah yang hampir
habis masa jabatannya dirotasi dan masa jabatannya kembali ke nol tahun. Nasib
Kepmen 162/U/2003 tidak jauh berbeda walaupun relatif lebih baik. Beberapa
daerah sudah mulai melaksanakan Kepmen tersebut. Namun masih banyak yang belum
merealisasikan permen tersebut karena benturan kepentingan dan sulitnya merubah
kultur.
Periodisasi
masa jabatan Kepala sekolah yang dilaksanakan secara konsisten dengan penilaian
kinerja yang akuntabel serta transfaran akan mendorong peningkatan mutu
pendidikan di sekolah-sekolah. Kepala Sekolah akan bekerja keras untuk
meningkatkan prestasi sekolahnya sebagai bukti prestasi kinerjanya, sehingga
masa jabatannya bisa diperpanjang atau mendapat promosi jabatan yang lebih
tinggi. Prestasi yang diraih sekolah-sekolah akan meningkatkan mutu pendidikan
di daerah dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Tidak
ada lagi istilah berprestasi atau tidak berprestasi, bermasalah atau tidak
bermasalah tetap aman. Hanya ada dua pilihan, kembali menjadi guru dengan
predikat tidak berprestasi atau kembali menjadi guru dengan terhormat karena
sudah menjalani periode maksimal bahkan mendapat promosi.
Keberhasilan
pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat tergantung pada
akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang berbau KKN tidak
akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan.
Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran dan melibatkan guru
sekolah yang kepala sekolahnya dinilai. Keterlibatan guru dalam penilaian
kinerja kepala sekolah mutlak karena gurulah yang paling tahu kenerja kepala
sekolah sehari-harinya. Dengan demikian objektifitas penilaian akan terjaga
karena penilaian tidak hanya bersifat administratif dari atasan saja, tetap
penilaian dilakukan secara autentik, sehingga subjektifitas penilaian seperti
kedekatan dengan atasan dapat dihindari. Penilaian yang transfaran dan objektif
dengan melibatkan guru akan memaksa kepala sekolah memaksimalkan kinerjanya dan
akan mendorong peningkatan kinerja sekolah, sehingga prestasi sekolah dan mutu
pendidikan akan meningkat.